Dua
Mereka ada di
sebuah pusat perbelanjaan terkenal. Ini merupakan kali pertama Hana pergi
bersama seorang laki-laki. Ia tak mengerti perasaannya kini. Senang, benci, bahagia,
jengkel atau apalah itu. Semua campur aduk bagaikan rujak buah dengan berbagai
macam buah, berbagai macam rasa. Dia hanya dapat tertunduk malu ketika berjalan
berdampingan dengan Ben.
Berbeda
dengan Ben, ia mengangkat dagunya dengan bangga –seperti biasa. Sesekali ia
membereskan rambutnya yang sedikit berantakan karena naik motor tadi. Terkadang
juga ia melirik ke arah Hana, yang hanya dibalas dengan sunggingan senyum kaku.
“Cobalah
tersenyum sedikit” komentar Ben.
Menatapnya
dengan malas, Hana berkata, “Sebenarnya apa maumu?”
Ben
berhenti berjalan dan diam terpaku.
“Mauku…..”
Ben mendaratkan kecupan manis di kening Hana. Lalu tersenyum.
Hana
terpatung. Ia membelalakkan mata ketika –sesuatu- itu mendarat. Ia benar-benar
diluar kendalinya. Hana membuka mulutnya tak percaya. Namun Ben hanya tersenyum
manis tanpa kesalahan.
“Kau…..”
Hana membuat kepalan dari tangannya dan mendaratkannya tepat di pelipis Ben.
“Adduh!”
Ben meringis kesakitan.
“Kenapa?”
“Kenapa
katamu? Harusnya aku yang bertanya kenapa?”
Hana semakin bingung dibuatnya. Ben masih tersenyum manis.
Hana semakin bingung dibuatnya. Ben masih tersenyum manis.
“Kenapa?
Itu kecupan pertamamu?” ucap Ben.
Hana
melangkah gontai meninggalkan Ben. Ben langsung mengekor dibelakangnya. Senyuman licik mulai terpatri di wajahnya. Berhasil!!
Jam
makan malam tiba. Mereka ada di sebuah restoran, duduk saling berhadapan.
Suasana romantis tak dapat terpungkiri. Sebuah lilin aromaterapi yang terbakar
secara berkala ada diantara mereka. Ben memandangi Hana dengan tatapan pernuh arti. Hana hanya dapat menundukkan
kepalanya. Terkadang ia mamalingkan wajah.
Hana
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia masih memikirkan apa yang dilakukan Ben
di depan sebuah distro remaja tadi. Memang benar, itu adalah kecupan pertamanya
–kecuali dari orang tuanya. Sesuatu yang tak terfikirkan olehnya. Sesuatu yang
mustahil baginya.Sesuatu pertama yang membuat ia salah tingkah. Dan itu ia
dapat dari orang yang sama sekali tidak dekat dengannya.
Ben
–masih- memandangnya. Ia melambaikan tangannya didepan wajah Hana. Ia
terheran-heran dengan ekspresi seseorang dihadapannya. Ben bangkit dari
kursinya dan mencondongkan tubuhnya kedepan. Wajahnya hanya berjarak beberapa
sentimeter dengan wajah Hana. “Cepat
keluar dari duniamu” Ben sedikit mendesah.
Hana
masih belum sadar dari lamunannya.
“Atau
aku akan….”
Hana
langsung tersadar dari lamunannya. “Apa tadi?”
Ben
menyunggingkan senyum liciknya. “Tak jadi”.
Hana
merasa penasaran “Cepat katakan atau aku tak ingin menemanimu lagi” dengan nada
mengancam.
“Atau
aku akan…..” Ben masih menggodanya.
Karena
pertanyaannya tak kunjung dijawab, Hana langsung berdiri dan meninggalkan
tempat makan itu. Ia berjalan dengan rambut sebahunya yang terkibas. Ben
berlari mengejarnya.
“Biar
ku antar”.
Hana
berhenti.
“Sudah
seharusnya” Hana membuang muka. Ia tetap memandang lurus ke hadapannya.
“Tunggu
sebentar, aku pergi ke tempat parkir dulu” kata Ben.
Hana
meliriknya dan mengangguk. Ben pergi meninggalkannya.
Ia
melirik sekitarnya dan menemukan orang yang ada di restoran bersamanya tadi.
Hana menatapnya curiga kemudian berpaling. Semua
baik-baik saja, Hana berusaha untuk berpikir positif.
Tak
lama, Ben datang dengan motornya. Ia membuka sedikit kaca helmnya. “Ayo!” ajak
Ben. Ia mengambil helm untuk Hana dan memberikannya dan melirik ke tempat dibelakangnya.
Hana melakukannya.
Kini
mereka sudah sampai didepan gerbang asrama Hana. Hana turun dengan cepat. Ben
hanya menatapnya.
Handphone
Ben birdering, ia melihat nama yang tertera di layar. Lantas ia menjawabnya.
Ben hanya menganggukkan kepalanya dan menutup teleponnya kembali. Hana
memandangnya bingung.
Sadar
diperhatikan, Ben langsung tersenyum. “Mama ingin aku untuk pulang ke rumah
malam ini, bukan ke dorm”
“Aah..”
Hana mengangguk kecil.
“Maaf
tak bisa mengantarmu kedalam” Ben seolah-olah memasang tampang menyesal.
Isi
perut Hana seolah-olah ingin keluar melihat wajah orang diatas motor itu.
“Hentikan tampang bodohmu itu” sambil mejulurkan lidahnya tanda jijik.
Ben
mesem tak karuan. “Aku pulang dulu, jangan kangen ya” sambil memasang helmnya
kembali. Tak lama kemudian ia telah menghilang di kegelapan malam.
Hana
tertunduk sejenak. Ia berbalik dan menatap pintu gerbang asramanya kini. Hana
berjalan sedikit dan menemukan bahwa pintunya sudah terkunci. Ben sialan! Ia mengumpat.
Di
perjalanan pulang tadi, ia diajak berkeliling oleh Ben. Entah kemana Ben
membawanya. Sudah sedari tadi ia merengek pulang. Namun Ben tetap kokoh pada
pendiriannya. Ben berpendapat bahwa Hana butuh refreshing karena rutinitasnya
yang sangat padat. Namun di sisi Hana, Ben merupakan orang yang sok tahu
tentang kehidupan pribadinya.
Namun
setelah dipikir berulang kali, memang benar apa yang dipikirkan Ben. Memang
selama ini itulah kehidupannya. Tak sempat bersenang-senang dengan teman
sebayanya. Yang hanya ada dipikirannya hanyalah belajar belajar dan belajar.
Itu semua karena keadaan keluarganya. Jika bukan karena beasiswa, ia tak akan
pernah berada di sekolah elit ini. Hana berdiri mematung didepan gerbang
asramanya selama pikiran itu mengelilingi otaknya. Ia menggeleng segera.
“Untuk
apa aku memikirkannya. Tak guna. Aku hanya akan hadapi yang terjadi dimasa ini
dan masa depan. Tak perlu memikirkan masa lalu. Ya” Hana bergumam pada dirinya
sendiri.