Kamis, 18 Juli 2013

Just Truly Romance


Satu

Dia berlari di koridor itu dengan terburu-buru bagaikan dikejar waktu. Rambutnya terkibas karena kecepatan larinya. Keringatnya mengucur meskipun udara masih sejuk. Dan ‘Buk’ tubuh mungilnya menabrak sesuatu berwarna putih. Buku pelajarannya jatuh berserakan di lantai. “Silahkan masuk” suara serak seorang guru bergema. Gadis itu segera  memungut barang bawaannya dan membuka pintu tersebut dengan nafas yang terputus-putus. Suara tawa pecah sesaat ketika pintu terbuka.
                “Mengapa Hana?” Mr. Derry sang guru Biologi bertanya dengan memasang tampang bingung mengerutkan dahi.
                “Maaf, pak” jawab sang Gadis masih dengan suara yang sedikit tercekat karena larinya tadi.
                “Tidur bareng buku apa malam ini?” teriak salah seorang siswa dari belakang kelas yang kemudian disusul gelak tawa lagi.
Si gadis hanya dapat tertunduk sambil menahan amarahnya. Guru itu langsung memberikan kode berupa anggukan kepala yang langsung dimengerti oleh si gadis. Ia berjalan melewati orang-orang –yang boleh dibilang asing baginya- dengan mulut yang berkomat-kamit mengucapkat umpatan-umpatan dalam hati. Buku yang sedari tadi ia dekap langsung ia jatuhkan keatas mejanya yang menimbulkan suara yang sedikit mengagetkan beberapa orang disekitarnya, kemudian ia langsung duduk masih dengan wajah yang sedikit ditekuk.
Gadis disebelahnya yang memasang wajah aneh kini. Ai namanya. “Kenapa kau telat?” sambil menatap temannya itu.
                Sang gadis hanya menggeram sambil mengepalkan tangannya yang ada diatas meja. Ini karena Iyah yang telat bangun, jadilah aku telat karena menunggunya. Kalau saja aku berangkat duluan tadi, pasti tak akan seperti ini, hatinya berkata. “Tak apa, mungkin aku tidur terlalu malam jadi sedikit telat” ia berusaha berbohong.
                “Tak seperti biasanya. Kau tak pernah begitu sebelumnya, kau bahkan tak pernah telat masuk kelas. Ada apa sebenarnya?” Ai masih terus mengintrogasinya dengan tampang kebingungan. Sedikit menoleh pada orang di sebelahnya. Sedikit memiringkan kepala.
                Si gadis tak menghiraukannya dan langsung fokus pada materi pembelajaran yang berlangsung. Ia memang gadis yang tak pernah mau tertinggal satu menit saja waktu belajar dalam kelas. Hanayumi Lestari namanya. Ia gadis keturunan Indonesia Jepang, namun ia sudah lama tinggal di Negeri Seribu Pulau ini.
Memang sudah sifat dasarnya yang sedikit angkuh ditambah dengan -boleh dibilang tidak seperti orang Indonesia atau Jepang kebanyakan- parasnya yang tak ramah, hanya beberapa siswa di kelasnya yang mengenal dia. Meski begitu, wajahnya boleh dibilang di atas wajah orang asia kebanyakan. Bola mata hitam bulat, hidung bangir ditambah kulit kuning langsat. Rambutnya lurus sebahu.
Banyak juga yang  men-cap-nya sebagai gadis misterius. Karena sangat pendiam –kecuali jika bertanya pada guru- di dalam kelas. Namun mereka semua tak tahu sifat aslinya. Hana seorang gadis periang yang tak kenal lelah berbicara jika sudah dekat dengan seseorang.

                Bel pergantian pelajaran berbunyi. Seluruh siswa memberi salam dan langsung keluar menuju kelas selanjutnya. Hana keluar bersama Ai dari kelas Biologi dengan tampang –yang masih- lesu karena kejadian tadi.
                “Kamu benar-benar tak apa?” Ai masih penasaran akan temannya itu.
                Hana menaikkan sudut bibirnya dan mengangguk kecil yang menurutnya cukup untuk menjawab semua pertanyaan Ai yang meyerangnya sedari tadi. Melihat jam tangan yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya secara terbalik “Sudah saatnya masuk kelas Bahasa. Aku pergi dulu, Ai. Sampai jumpa” sembari melambaikan tangannya dan ia langsung berlari dan menghilang tanpa jejak.
                Ai hanya menggeleng pelan ketika Hana sudah tak terlihat lagi.
                ###
Karena keterlambatannya pagi tadi, Hana tak sempat sarapan pagi. Padahal ia tahu bahwa hari-harinya itu sangat sibuk, bahkan pekerja kantoran pun kalah sibuknya dengan dia. Namun apalah daya, karena sudah tak ada waktu, ia langsung berlari menuju kelas Bahasa yang letaknya ada di seberang gedung untuk kelas sebelumnya. Butuh tenaga yang besar untuk melakukannya. Dengan menghela nafas yang panjang dan kemudian dengan kecepatan cahaya, ia berlari menuju tempat tujuannya dengan menahan cacing-cacing yang sedang berorkestra dalam perutnya. Bukunya terombang ambing dalam dekapannya berlari.
               
Sesampainya di kelas Bahasa, ia langsung menuju kursi kosong –yang juga merupakan tempat favoritnya- di ujung kiri depan kelas. Ia menaruh segala bawaannya dan duduk dengan santai. Tak lama berselang, datanglah seorang laki-laki dengan tubuh tinggi ditambah dengan poninya yang dapat membuat gadis-gadis menjerit melihatnya. Itulah Ben, Bernard Scithman. Entah ada angin lalu apa, ia langsung menatap –dengan tatapan kepercayaan- kursi dibelakang Hana dan tersenyum ketika melewatinya. “Hai~” kata sapaan sederhana yang langsung membuat Hana memalingkan wajahnya.
                “Kenapa?” Hana mendongak menatap enggan lelaki disampingnya.
                “Sombong sekali kau ini! Bukannya membalas, malah bertanya” Ben seolah-olah memasang wajah menyedihkan.
                Hana mendecak. Pandangan tajamnya hanya tertuju pada Ben.  “Oke, hai!!” Hana menjawab dengan nada yang sedikit dinaikkan.
                Mrs. Crist masuk kedalam kelas yang membuat perdebatan kecil itu berhenti. Seluruh siswa mulai memperhatikan materi yang disampaikan. Iyah –teman satu kamar Hana di asrama- masuk dengan wajah yang dilumuri keringat. “Maaf bu, saya terlambat” sambil memegang lututnya lemas.
                Mrs. Crist menjawab “Sudah cepat masuk. Kamu ini seperti yang tak biasa saja”. Disusul tudingan Mrs. Crist menuju kursi kosong dipojokan kelas.
                ###
“Jus alpukat satu!”
                Sudah rutinitas Hana duduk di kantin pada jam istirahat hanya dengan ditemani buku-buku dan sebuah MP3 yang selalu setia bertengger di telinganya. Ia masih memikirkan tentang sapaan dari Ben di kelas tadi. Serumit rumus-rumus kimia, tetap tak dapat ditemukan hasilnya. Ia kebingungan stadium dua. Tak biasanya ia disapa oleh laki-laki semacam Ben, bahkan tak pernah. Itu adalah sapaan pertama dalam sejarah sekelas bersama Ben. Ada apa dibalik kejadin tadi?, hatinya meramal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar