Satu
Dia berlari di
koridor itu dengan terburu-buru bagaikan dikejar waktu. Rambutnya terkibas
karena kecepatan larinya. Keringatnya mengucur meskipun udara masih sejuk. Dan
‘Buk’ tubuh mungilnya menabrak sesuatu berwarna putih. Buku pelajarannya jatuh
berserakan di lantai. “Silahkan masuk” suara serak seorang guru bergema. Gadis
itu segera memungut barang bawaannya dan
membuka pintu tersebut dengan nafas yang terputus-putus. Suara tawa pecah
sesaat ketika pintu terbuka.
“Mengapa
Hana?” Mr. Derry sang guru Biologi bertanya dengan memasang tampang bingung
mengerutkan dahi.
“Maaf,
pak” jawab sang Gadis masih dengan suara yang sedikit tercekat karena larinya
tadi.
“Tidur
bareng buku apa malam ini?” teriak salah seorang siswa dari belakang kelas yang
kemudian disusul gelak tawa lagi.
Si gadis hanya
dapat tertunduk sambil menahan amarahnya. Guru itu langsung memberikan kode
berupa anggukan kepala yang langsung dimengerti oleh si gadis. Ia berjalan
melewati orang-orang –yang boleh dibilang asing baginya- dengan mulut yang
berkomat-kamit mengucapkat umpatan-umpatan dalam hati. Buku yang sedari tadi ia
dekap langsung ia jatuhkan keatas mejanya yang menimbulkan suara yang sedikit
mengagetkan beberapa orang disekitarnya, kemudian ia langsung duduk masih
dengan wajah yang sedikit ditekuk.
Gadis disebelahnya
yang memasang wajah aneh kini. Ai namanya. “Kenapa kau telat?” sambil menatap
temannya itu.
Sang
gadis hanya menggeram sambil mengepalkan tangannya yang ada diatas meja. Ini karena Iyah yang telat bangun, jadilah
aku telat karena menunggunya. Kalau saja aku berangkat duluan tadi, pasti tak
akan seperti ini, hatinya berkata. “Tak apa, mungkin aku tidur terlalu malam
jadi sedikit telat” ia berusaha berbohong.
“Tak
seperti biasanya. Kau tak pernah begitu sebelumnya, kau bahkan tak pernah telat
masuk kelas. Ada apa sebenarnya?” Ai masih terus mengintrogasinya dengan
tampang kebingungan. Sedikit menoleh pada orang di sebelahnya. Sedikit memiringkan
kepala.
Si
gadis tak menghiraukannya dan langsung fokus pada materi pembelajaran yang
berlangsung. Ia memang gadis yang tak pernah mau tertinggal satu menit saja waktu
belajar dalam kelas. Hanayumi Lestari namanya. Ia gadis keturunan Indonesia
Jepang, namun ia sudah lama tinggal di Negeri Seribu Pulau ini.
Memang sudah
sifat dasarnya yang sedikit angkuh ditambah dengan -boleh dibilang tidak
seperti orang Indonesia atau Jepang kebanyakan- parasnya yang tak ramah, hanya
beberapa siswa di kelasnya yang mengenal dia. Meski begitu, wajahnya boleh dibilang
di atas wajah orang asia kebanyakan. Bola mata hitam bulat, hidung bangir ditambah
kulit kuning langsat. Rambutnya lurus sebahu.
Banyak juga yang
men-cap-nya sebagai gadis misterius. Karena
sangat pendiam –kecuali jika bertanya pada guru- di dalam kelas. Namun mereka semua
tak tahu sifat aslinya. Hana seorang gadis periang yang tak kenal lelah berbicara
jika sudah dekat dengan seseorang.
Bel
pergantian pelajaran berbunyi. Seluruh siswa memberi salam dan langsung keluar
menuju kelas selanjutnya. Hana keluar bersama Ai dari kelas Biologi dengan
tampang –yang masih- lesu karena kejadian tadi.
“Kamu
benar-benar tak apa?” Ai masih penasaran akan temannya itu.
Hana
menaikkan sudut bibirnya dan mengangguk kecil yang menurutnya cukup untuk
menjawab semua pertanyaan Ai yang meyerangnya sedari tadi. Melihat jam tangan
yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya secara terbalik “Sudah saatnya
masuk kelas Bahasa. Aku pergi dulu, Ai. Sampai jumpa” sembari melambaikan
tangannya dan ia langsung berlari dan menghilang tanpa jejak.
Ai
hanya menggeleng pelan ketika Hana sudah tak terlihat lagi.
###
Karena keterlambatannya
pagi tadi, Hana tak sempat sarapan pagi. Padahal ia tahu bahwa hari-harinya itu
sangat sibuk, bahkan pekerja kantoran pun kalah sibuknya dengan dia. Namun
apalah daya, karena sudah tak ada waktu, ia langsung berlari menuju kelas
Bahasa yang letaknya ada di seberang gedung untuk kelas sebelumnya. Butuh
tenaga yang besar untuk melakukannya. Dengan menghela nafas yang panjang dan
kemudian dengan kecepatan cahaya, ia berlari menuju tempat tujuannya dengan
menahan cacing-cacing yang sedang berorkestra dalam perutnya. Bukunya terombang
ambing dalam dekapannya berlari.
Sesampainya di
kelas Bahasa, ia langsung menuju kursi kosong –yang juga merupakan tempat
favoritnya- di ujung kiri depan kelas. Ia menaruh segala bawaannya dan duduk
dengan santai. Tak lama berselang, datanglah seorang laki-laki dengan tubuh
tinggi ditambah dengan poninya yang dapat membuat gadis-gadis menjerit
melihatnya. Itulah Ben, Bernard Scithman. Entah ada angin lalu apa, ia langsung
menatap –dengan tatapan kepercayaan- kursi dibelakang Hana dan tersenyum ketika
melewatinya. “Hai~” kata sapaan sederhana yang langsung membuat Hana
memalingkan wajahnya.
“Kenapa?”
Hana mendongak menatap enggan lelaki disampingnya.
“Sombong
sekali kau ini! Bukannya membalas, malah bertanya” Ben seolah-olah memasang
wajah menyedihkan.
Hana
mendecak. Pandangan tajamnya hanya tertuju pada Ben. “Oke, hai!!” Hana menjawab dengan nada yang
sedikit dinaikkan.
Mrs.
Crist masuk kedalam kelas yang membuat perdebatan kecil itu berhenti. Seluruh
siswa mulai memperhatikan materi yang disampaikan. Iyah –teman satu kamar Hana
di asrama- masuk dengan wajah yang dilumuri keringat. “Maaf bu, saya terlambat”
sambil memegang lututnya lemas.
Mrs.
Crist menjawab “Sudah cepat masuk. Kamu ini seperti yang tak biasa saja”.
Disusul tudingan Mrs. Crist menuju kursi kosong dipojokan kelas.
###
“Jus alpukat
satu!”
Sudah
rutinitas Hana duduk di kantin pada jam istirahat hanya dengan ditemani
buku-buku dan sebuah MP3 yang selalu setia bertengger di telinganya. Ia masih
memikirkan tentang sapaan dari Ben di kelas tadi. Serumit rumus-rumus kimia,
tetap tak dapat ditemukan hasilnya. Ia kebingungan stadium dua. Tak biasanya ia
disapa oleh laki-laki semacam Ben, bahkan tak pernah. Itu adalah sapaan pertama
dalam sejarah sekelas bersama Ben. Ada apa
dibalik kejadin tadi?, hatinya meramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar